Minggu, 14 Juni 2009

Hope(less) #1

Leave...

Finally I realize

That I’m nothing without you

I was so wrong

Forgive me *)



***

"Wista..." Panggil-Ku untuk kesekian kalinya dengan nada terheran-heran. Yah, terheran, melihatku akhir-akhir nampak berbeda. Tatapanmu, sikapmu, senyummu, semuanya berbeda. Kau membuatku nyaris gila dengan semua keanehanmu.

Kau masih terdiam, termenung. Entah melamunkan apa.

"Wistaria!" Kini Kupanggil diri-Mu dengan suara yang lebih keras.

"Ya?" Kini Kau mulai bereaksi. Harus berapa kali Aku memanggil-Mu agar Kau memalingkan wajah-Mu sejenak pada-Ku?

"Ada apa?" Tanya-Ku ragu-ragu. Hanya sebuah pertanyaan singkat, tapi penting bagi-Ku untuk Kau jawab.

"Maksudmu???" Kau berusaha menyangkal. Aku tau, Kau tau apa yang Kumaksud.

"Jangan pura-pura, Wis," Ujar-Ku 'agak' emosi.

Kau sempat kaget, mendengar nada bicaraku yang kini terdengar keras dan kasar. Tapi, kau tetap menyangkal, "Pura-pura bagaimana? Aku memang nggak ngerti, kok,"

Wista, apa yang kau sembunyikan dariku?
* * *
Inikah takdir?

Apakah Tuhan sengaja memberikan 'kebetulan' ini padaku?

Untuk apa? Membuka kenyataan tentangku dan tentangmu?

Sudah hampir 1 minggu Kau menghindariku. Dan Kau membuatku selalu berpikir tentang kesalahanku. Apakah emosi sesaat itu membuatmu marah padaku? Sehingga sekedar memanggil-pun kau tak menoleh padaku?

Di koridor ini, Aku terus memanggil-Mu. Hingga orang-orang di sekitar melihat Kita. Aku terpaksa harus mengejarmu karena rasa takut ini semakin bergemuruh. Ketika kutarik tanganmu, memaksamu untuk melihatku, Kau baru menoleh, dengan senyum seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Dan Kini, rasa bingung-ku terjawab.

Tepat saat Aku terpaksa kembali ke sekolah. Hanya untuk mengambil barang yang ketinggalan. Kulihat dirimu bersama lelaki lain. Kau tersenyum dengannya?! Dan senyum itu...

Wista, sejak kapan Kau tersenyum manis pada orang lain selain diriku?
Dalam hati yang terluka, Aku mengambil kesimpulan, Kau berpaling dariku. Walau Aku berusaha untuk menghilangkan pikiran itu. Tapi... Aku tak bisa. Semakin Aku menolak, kesimpulan itu semakin kuat.

Kau tak pernah peduli lagi denganku. Bahkan ketika Aku menjerit, memanggil Namamu, Kau tak pernah lagi berpaling dariku. Hal itu, membuat rasa ini, pikiran ini, semakin menguat. Semakin membuka lebar luka hatiku.
Aku hanya bisa berlari. Keluar dari gedung ini. Pergi kembali ke Rumah. Meringkuk, menikmati kesedihanku sendiri.
* * *
I thought I wouldn’t be able to live even one day without you

But somehow I managed to live on (longer) than I thought

You don’t answer anything as I cry out “I miss you”

I hope for a vain expectation but now it’s useless*)
>> To be Continue
____________________________________________
*) Lyrics from "Haru Haru" (Day by Day) translation by Big Bang >> http://erilyrics.blogspot.com/2009/05/haru-haru.html



Friendster Layouts

Sabtu, 25 April 2009

Iinchoo, aishiteru... The End of the Panic

Angin sepoi masih berembus lembut. Bagi kebanyakan orang, kelembutan tersebut adalah pertanda yang baik. Namun bagiku yang sedang dalam keadaan seperti ini, angin itu tak lebih dari hembusan iseng.

Aku masih tertegun dengan pengakuan cinta seorang cowok yang sama sekali belum ku kenal.

"Jadi...," katanya. "Bagaimana menurutmu? Kamu mau tidak jadi pacarku?" Tanyanya.

Aku masih bengong. Sungguh! Pikiranku langsung kosong saat itu. Ketika keadaanku seperti itu, aku merasa kalau Hinata, cowok urakan itu mendekat dan semakin dekat. Kontan saja aku panik!

"HENTIKAN!!!" Jeritku sambil mendorong cowok itu sampai mundur agak jauh dariku.

"Ada apa?" Tanyanya sambil tersenyum iseng.

"Sebentar!"

Jeda sejenak. Kami saling berpandangan.

"KAMU PIKIR KAMU SIAPA, HAH?!" Teriakku. "Belum apa2 sudah main dekat2an!"

"Oh, aku pikir kamu ragu akan ketulusanku, jadi yaa..."

Dia tidak sangup melanjutkan kalimatnya karena aku sudah terlanjur memotong kalimatnya.

"Ragu?! Aku bahkan sudah memutuskan!"

"Jadi?"

"Aku menolak!!!"

Hinata tertegun. Lebih tepatnya shock karena mungkin penolakanku seperti benturan keras di kepalanya.

"Apa maksudmu? Kamu... kamu cewek pertama yang menolakku..."

"Wah, wah, wah... berarti aku adalah yang pertama. Terima kasih. Tapi, simpan saja ucapan selamatmu karena itu tidak berarti apa-apa..." Aku berbalik dan melangkah pulang. Kupikir dia akan menyerah, tapi sepertinya tidak. Ia menarik lenganku hingga mau tak mau aku harus mengikuti pembicaraan dengannya lagi.

"Lalu, apa alasanmu hingga menolakku?"

Aku terdiam. Waduh, aku kan sedang ada dalam masalah cinta, kenapa pertanyaan yang mau tak mau harus memberikan jawaban seperti itu harus terlontar sih? Fuuh... terpaksa jujur deh...

"Aku... sedang menyukai seseorang..."

"Sudah pacaran?" Tanyanya.

Lagi-lagi pertanyaan yang menyakitkan!

"Belum..."

Kami berdua terdiam, begitu kulihat wajahnya. Sebuah senyum lebar sudah menghiasi wajahnya.

"Kalau begitu... pacaran saja denganku. Dari gayamu berbicara, sepertinya kamu lagi bertepuk sebelah tangankan?" Ujarnya.

Jujur saja, aku agak tertekan dengan kata "bertepuk sebelah tangan".

"Dari pada mengejar yang nggak pasti, lebih baik terima pernyataan cintaku."

"Benar juga..."

"HEH?"

"Dasar cowok gampangan! Kamu pikir aku serius? Tidak, untuk mengejar yang tidak pasti itulah, aku harus bersabar!"

Secepat kilat aku berlari meninggalkan Hinata sendiri. Dalam hatiku, aku yakin dia pasti menyerah. Yah, kalau kita memang nggak mau, apa harus dipaksakan?

***

Kenapa nasib sial harus berpihak padaku sih???

"Namaku Hinata Nagasawa. Salam kenal."

Sapaan perkenalan itu ditutup dengan sebuah senyuman khas yang membuat hampir seluruh siswi di kelasku menjerit sambil tersipu malu.

'HUH! Apaan cowok kayak gitu?!' Pikirku.

"Hai, kita memang berjodoh, ya. Bisa satu kelas dan bangkunya bersebelahan,"Hinata tersenyum menggoda.

"You wish. Mau keadaannya bagaimana kek, percuma sajalah. Aku tetap akan mengejar orang yang kusukai!"

"Fuh, kupikir kamu sudah berubah pikiran..."

***

Hari sudah begitu melelahkan! Bayangkan saja, sudah 3 hari Hinata Nagasawa pindah ke sekolahku, dia sudah berulah dengan membuat orang2 berpikiran kalau aku "jadian" dengannya. Berita itu tersebar karena selama 3 hari ini dia selalu mengikutiku kapan saja dan dimana saja.

"SUDAH KUBILANG KAN DARI KEMARIN? BERHENTI MENGIKUTIKU!!!"Teriakku. Dan seperti biasa, dia hanya cengengesan.

"Kamu akan kuuikuti terus sampai kamu mau jadi pacarku."

"Tapi jangan sekarang! Aku kan sedang ada rapat OSIS tahu!"

Seluruh anggota OSIS yang ada di dalam ruangan melihat dengan aneh ke arah kami berdua. Termasuk Hiro Nagasawa. Habislah sudah! Harapanku bisa "jadian" dengan Hiro pasti musnah!

"Ehem, Furukawa, kalau kamu mau berpacaran, jangan di sini. Kita sedang rapat OSIS tahu?!"Tegur Hiro.

"Maaf, akan kuusir dia sekarang juga."

Aku mendorong Hinata agar keluar.

"Pergi saja kamu, berhentilah menggangguku!" Bisikku.

Namun, dia hanya tersenyum iseng dan menguatkan dirinya agar tidak terdorong.

"Tidak akan..."

"Cukup! Kamu pergilah bersama dia juga! Kamu sudah gagal menjadi anggota OSIS. Sekarang kamu bebas, pergilah kemana pun kamu mau!"Teriak Hiro yang kesabarannya sudah habis.

Aku terdiam. Jujur saja kalimat Hiro tadi membuatku terpukul. Aku pun menyambar task dan berlari keluar ruangan. Di luar, Hinata Nagasawa berdiri sambil tersenyum iseng.

"Yuk, pulang!"Katanya dengan nada mengajak. Ia menggenggam tanganku dan menarikku. Ia sepertinya sudah menunggu-nunggu aku.

"Hentikan..."

"Apa?"

"Sudah hentikan!!!"Teriakku.

"Apa maksudmu?"

Kutepis tangannya dengan kasar. Dan ia hanya tertegun.

"Kamu pikir, aku senang dengan semua hal menjengkelkan, merepotkan yang kamu buat?! Tidak! Sekarang hentikan!"

"Tidak akan, karena aku sudah sangat menyukaimu, jadi..."

"LALU? Kamu pikir aku akan terharu dan menerima semua ini? Lupakan!!!" Teriakku histeris. "Aku tidak bisa menerima ini. Kamu sudah menghancurkan semuanya!"

Dia terdiam.

"Kamu sudah menghancurkan semuanya. Menghancurkan harapanku agar bisa pacara dengan Hiro. Aku tidak peduli lagi! Aku menyukai Hiro dan selalu berharap agar bisa jadi pacarnya, dan semua itu kau hancurkan dengan mudah!" Aku meneteskan air mataku. Pedih sekali rasanya, dibenci orang yang kita cintai.

"Benarkah itu, Furukawa?"

Aku menoleh ke arah datangnya suara. Kulihat berdirilah Hiro. Sementara, para anggota OSIS menonton dari balik jendela ruangan. Aku pun tersadar akan suatu hal.

Berarti... dari tadi melihatku dong? Aduh, malunya! Berarti... tentang perasaanku sama Hiro...?

"Oi, Hinata! Kamu ini kejam sekali, masa' membuat nangis cewek?" Hiro membuka kaca matanya perlahan.

"Sori, bro! Aku pikir dia sama kayak cewek biasanya yang jadi suka kalo udah dideketin..."

"Maafkan adikku, ya. Furukawa...."

Aku terbengong-bengong melihat hal itu. Ah, akhirnya menyadari sesuatu. Hiro dan Hinata adalah saudara kembar???

"A... anu..."

"Furukawa..."Hiro mendekatiku dan membelai rambutku. "Aku tidak menyangka bisa ditembak. Apalagi yang nembak cewek yang aku sukai. Dan lagi dengan cara yang konyol. Hahaha..."

Ia kemudian mendekatkan bibirnya ke pipiku.

"Na... Nagasawa?"

Aku merasakan kalau ada yang menyentuh pipiku.

"Jangan terkejut, ya. Aku memang sudah lama menyukaimu."

"Ja... jadi, maksudmu?"

"We are a couple now..." Ia tersenyum.

Kurasa, para anggota OSIS atau mungkin siswa lain yang melihat hal itu ikut menyadari sesuatu. Yaitu, bahwa Hiro Nagasawa, adalah salah satu cowok terkeren di sekolah.

Aku merasa sangat bahagia. Aku langsung memeluk Hiro sambil menangis. Tapi, hei! Itu bukanlah tangis kesedihan! Itu adalah tangis bahagia.
-END-





Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

Kamis, 05 Maret 2009

Iinchoo, aishiteru... Panic#2

"Aiko... Aiko... makan malam sudah siap lho, ayo makan..."

Ayah mengetuk pintu kamarku beberapa kali.

"Aiko?"

Aku mengurung diri dalam kamar. Aku menyembunyikan wajahku dengan selimut tebal warna pink tua.

"Sebentar lagi, Yah..." Kataku lesu dan bergetar. Keadaan itu kontan membuat ayah semakin khawatir.

"Aiko? Kamu sakit?"

"Tidak, Yah. Aku hanya sedang capek saja."

"Oh, begitu. Ayah turun duluan ya. Kamu cepatlah makan malam!"

Duk-duk-duk
A
Terdengar langkah kaki ayah yang menuruni tangga dengan terburu-buru. Aku mengintip dari balik selimut. Kulihat sekeliling kamarku. Gelap, panas, dan cocok untuk hatiku yan sedang sedih dan kecewa. Malu. Aku benar-benar malu. Aku... aku secara tidak sadar mengejek orang yang aku sukai.

Aku teringat kejadian tadi siang...

"Ke... ketua..."Kataku terbata.

Hiro Nagasawa hanya terdiam. Meski raut wajahnya tampak seperti tidak ada apa-apa tapi, aku tetap merasa tidak enak.

"A... aku..." Aku mencoba minta maaf tapi sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, Hiro sudah memotng kalimatku.

"Menertawakan orang itu memang enak, ya?" Katanya sambil tersenyum sinis. Aku terpana. "Kekurangan sendiri jadi tertutupi. Menyenangkan 'kan Furukawa Aiko?"

Aku terdiam. Kemudian dengan santainya dia berjalan meninggalkan aku dan Ayumi.

"Aduh... Aiko... gimana nih? Ketahuan ketua, 'kan???" Ayumi kelihatannya takut sekali. "Dia ketua OSIS, lho..."

"Bukan hanya itu... dia itu orang yang aku..." Aku mengetahui kalau aku teruskan pembicaraan ini maka perasaanku akan diketahui oleh Ayumi dan itu artinya tanda-tanda kehancuran hidupku. Aku malu sekali. Perasaanku terasa berputar-putar. Malu... kecewa... marah pada diri sendiri... Aku berlari meninggalkan Ayumi.

"Aiko?!!" Ayumi berteriak memanggilku, tapi aku tetap berlari. Tentu saja, kalian akan melakukan hal yang sama bila rahasiamu hampir terbongkar!

Aku membuka pintu kamarku perlahan. Di bawah sudah ada ayah yang menonton TV. Ruang makan ada di belakang ruang keluarga, jadi bila ingin menonton TV sambil makan, kau bisa melakukannya dengan mudah.

"Makanlah yang banyak biar kamu bisa mengisi kekuatanmu, Aiko!"Ujar ayah sambil tersenyum.

"Iya."

***

"Kenapa kamu kemarin pergi begitu saja, sih, Aiko?"Tanya Ayumi.

Saat itu kami sedang ada pertukaran pelajaran dan kami harus ke laboratorium untuk pelajaran kimia.

"Ah, aku hanya teringat sesuatu yang penting."

"Penting? Apa itu?"

"Wah, aku tidak bisa menceritakannya. Terlalu pribadi."

"Begitukah?"

"Ya."

"Kamu yakin tidak mau membicarakannya padaku?"

"Ya."

"Kamu harus tahu, Aiko. Ketua seperti tersinggung sekali padamu."Ayumi menatapku serius.

"Ah, a... aku tidak sengaja bilang begitu. Kebetulan saja dia datang...,"aku menjelaskan. Ayumi menatapku dalam-dalam sambil menghela napas.

"Kamu harus minta maaf." Ayumi menepuk pundakku.

"Tapi... kemarin saat aku mau minta maaf, dia sudah memotong kalimatku duluan...."

"Minta maaf, ok? Daripada dia salah paham... Kamu bisa dibencinya. Dan kesempatan supaya bisa jadi pacarnya bisa berkurang!"

"Be... benar juga."

Aku tiba-tiba tersadar akan sesuatu. Ah, sesuatu yang penting!

"Darimana kamu tahu kalau aku... suka... dia...?"Tanyaku sambil ternganga.

"Wah, aku sudah tahu dari dulu kok. Percuma kalau kamu menyembunyikannya! Aku sudah tahu!"Kata Ayumi. "Aku tidak bilang pada siapapun. Sebab, itu pribadi kan?"

"Ng...." Aku mengangguk sambil tersenyum malu.

"Kapan kamu mau mendapatkan dia?"

"Maksudmu?"

"Ya... N-E-M-B-A-K..."

"Aku tidak tahu..."

"Dasar!" Ayumi melotot. Pandangannya serius. "Sebaiknya kamu tembak, nanti kamu bisa ngelupain dia duluan lho..."

"Kok gitu?"

"Soalnya... mana ada yang mau sama dia, dia nggak bakal diambil orang lain... kalo pun ada pasti terpaksa ngambil dia..." Ayumi terkikik.

"Kamu tuh yang dasar!"

***

Langit senja begitu indah saat aku pulang sekolah. Sekolah sudah sepi. Ya, terang saja karena yang lainnya sudah pulang. Aku terlambat karena harus membantu wali kelasku, Hanamori-sensei. Aku sedikit kesepian sebab hari tak ada orang yang menemaniku pulang. Biasanya, sih, Ayumi yang pulang bersamaku.

"Oi, cewek. Pulang sendiri?"

Aku menoleh ke arah datangnya suara. Seorang laki-laki yang menurutku keren datang menghampiri. Dari penampilannya, sepertinya dia bukan anak berandalan.

"Kamu Furukawa Aiko kan?"Tanya cowok itu.

"Ya, ka... kamu siapa? Apa kita pernah bertemu?"Aku balik tanya. Cowok itu hanya tersenyum.

"Kenalkan...,"katanya sambil menyodorkan tangannya. "Hinata Nagasawa."

"Ya, senang berkenalan." Aku memperhatikan wajahnya. Rasanya aku pernah melihatnya. Tapi dimana, ya?

"Kita pernah bertemu kok. Hanya saja... kamu nggak tahu."

"Aku juga merasa kita pernah bertemu. Tapi aku tidak tahu kapan..."

"Hahahahaha..."

Ya, aku pernah bertemu dengannya. Tapi kapan dan dimana? Atau dulu aku mengenalnya? Dulu... sekali? Ah, tidak. Aku tidak kenal dia. Hanya saja... dia mirip dengan seseorang...

"Aku... menyukaimu..."

Aku terkejut.

"Sudah lama sekali..."

Hinata tersenyum lembut.

"Mau coba pacaran denganku?"

Angin sepoi berhembus. Tapi wajahku memerah...

'Bagaimana ini???'

***

Seseorang bersembunyi di balik pohon. Matanya menatap ke arah kejadian itu.

"Dasar Hinata!" Katanya sambil membenarkan kacamatanya.


To Be Continued...




Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

Minggu, 15 Februari 2009

Iinchoo, aishiteru...

Sosoknya menghilang dari pandanganku ketika hujan sedang turun. Mataku tidak bisa melihat dengan jelas karena selain hujan turun dengan deras, terdapat juga kabut tipis yang menghalangi mata.

Aku tetap duduk di bawah halte bus. Kursi halte terasa dingin. Tidak basah, tapi sangat dingin. Kopi hangat yang ada di tanganku masih belum kusentuh. Wajahku terasa geli dan panas. Apa mungkin ini yang namanya tersipu? Ibu, tolong beritahu aku...

***

"Aku pulang!" Pintu apartemen kubuka dan terdengar suara decitan yang khas untuk beberapa saat. "Hai, ayah!" Sapaku pada seorang laki-laki dengan rambut gondrong sebahu di depanku. Yah, kalau kamu melihatnya pertama kali, kamu pasti mengira dia adalah seorang wanita. Tapi dia itu laki-laki, dia A-Y-A-H-ku! Ayahku memang seorang laki-laki cantik.

"Hei, selamat datang, Aiko!" Ayah tersenyum. Sungguh membuat iri. Padahal dia itu laki-laki tapi kenapa dia bisa cantik begitu sih?

"Hmm, bau kare. Ayah hari masak kare?"

"Iya. Kau lupa? Hari ini kan peringatan 5 tahun meninggalnya ibumu. Ayah memasak kare karena ibumu kan suka kare."

"Tapi, aku juga boleh memakannya kan?"

"Ya, tentu saja."

"Horee!"Seruku gembira.

"T-A-P-I!!! Kamu mandi dulu. Ayah tidak mau memberikannya kalau kamu belum mandi! Nanti karenya bisa ketularan baunya!"Ujar ayah sambil menyerahkan handuk kesayanganku. "Jangan harap bisa dapat bagian kalau kamu belum mandi!"

Aku tersenyum bandel. Aku tahu kalau ayah cuma bercanda.

Di dalam kamar mandi, ternyata ayah sudah menyiapkan air hangat untuk mandi. Ayah memang baik. Tapi terkadang, ayah sering over protective. Bahkan rasanya, ayah sudah seperti ibuku sendiri. Ayah sangat pintar memasak. Dulu, sewaktu ibu masih hidup, ayah dan ibu sering bertanding masak. Dan aku yang menjadi jurinya. Masakan mereka sama-sama enak. Jadi, dalam pertandingan kecil-kecilan itu tidak bisa diprediksikan siapa pemenangnya. Dalam pertandingan itu, gelak-tawa sering mewarnainya.

Aku menuangkan aroma therapy oil untuk mandi. Lalu, aku merendam diriku ke sana. Bau aroma therapy menyebar ke seluruh kamar mandi.

Ibuku sudah meninggal akibat Leukimia yang dideritanya. Aku tidak tahu pasti kapan ibu mulai terserang penyakit itu. Yang pasti, selama 6 bulan ibu harus dirawat di rumah sakit. Aku masih ingat sekali betapa sedihnya aku waktu itu. Saat ibu meninggal, aku masih ada sekolah. Tiba-tiba datanglah seorang guru datang memanggilku. Ia menyuruhku untuk segera mengambil tas dan ikut dengannya ke rumah sakit. Saat itu, hatiku sudah galau karena membayangkan apa yang terjadi dengan ibuku saat itu. Sesampainya di rumah sakit, aku melihat wajah ayah yang menahan sedih, duduk di kursi ruang tunggu sambil terus menunduk. Begitu melihatku, aku langsung dirangkulnya dengan kuat. Seperti tidak ingin melepaskan aku lagi.

"Aiko, ibumu sudah pergi... Ayah mohon jangan tinggalkan ayah..."

Kata-kata ayah terus terngiang di kepalaku bila kuingat saat-saat terakhirku melihat ibu. Ayah sepertinya khawatir bila aku nantinya akan mengikuti ibu, pergi meninggalkannya. Ah, kini sudah 5 tahun aku berpisah dengan ibu. Dan semua itu kulalui tanpa terasa.

***

"Aiko! Aiko!"Seru Ayumi. Gadis berkepang dua model buntut kuda itu berlari kecil menghampiriku.

"Ada apa sih, Ayumi. Heboh banget!" Kataku. Ayumi hanya tersenyum.

"Aku tambah eneg melihat wajah si ketua OSIS itu. Menyebalkan! Kok dia bisa terpilih gitu, ya?"

"Eneg bagaimana?"Tanyaku aneh.

"Dia itu apa nggak punya kaca di rumahnya, ya? Dia itu gayanya itu-ituuu.. saja. Norak!"Ejek Ayumi.

"Ya, jangan begitu dong ngomongnya."

"Aku pikir gimana dia bisa punya pacar kalo gitu, ya? Mana ada yang mau sama dia!"

"Mungkin... mungkin saja dia... bisa laku..."

"Mana mungkin! Lain halnya kalo dia terkenal kayak Aiko. Aiko itu kan cantik dan pintar, jadi banyak dong penggemarnya!"Ujar Ayumi panjang-lebar membanding-bandingkan aku dan ketua OSIS yang dimaksud itu.

Di sekolahku, aku sangat terkenal. Bukannya mau menyombongkan, tapi itulah keadaannya. Aku dijuluki Kirei hime dan primadona sekolah. Mereka bilang aku ini pintar dan cantik. Setiap hari, sepertinya makin banyak orang yang menyatakan cinta padaku. Jujur saja, hal itu sangat merepotkan.

Ada juga seorang laki-laki culun berkacamata yang usianya lebih tua satu tahun di atasku. Meski pintar, dia itu culun dan norak. Banyak yang bilang kalau dia itu adalah murid terjelek di sekolahku. Fuuh... Ada-ada saja...

Kejadian bulan lalu membuat pandanganku terhadapnya berubah.
Saat itu aku sedang duduk di halte bus sendirian karena saat itu sedang hujan deras. Celakanya, aku lupa membawa payung! Aku sangat kebingungan saat itu. Mengingat aku sudah berjanji pada ayah untuk pulang cepat saat itu. Di saat-saat itulah aku melihat si ketua OSIS. Dia memberiku secangkir kopi hangat.

"Hei, minum ini. Kamu akan merasa lebih baik."

Belum sempat aku berterima kasih, dia sudah pergi. Pergi meninggalkan aku sendiri di tengah hujan.

Hiro Nagasawa.

Nama itu selalu membuatku salah tingkah. Aku... aku menyukainya! Tentu saja ini adalah TOP SECRET antara aku dan diriku sendiri saja. Karena, bila teman-teman satu sekolah mengetahui hal ini. Aku yakin akan ada keributan besar di sekolah.

"Aiko? Kenapa wajahmu memerah begitu?"Tanya Ayumi membuyarkan lamunanku.

"Tidak ada apa-apa kok! Iya, tidak ada apa-apa! Hahahahaha...!"

"Tapi kamu kelihatan mencurigakan nih, Aiko..."

"Aku cuma berpikir kalau Hiro Nagasawa itu keterlaluan sekali ya noraknya! Jelek sekali!"Seruku.

"Ai... Aiko..." Ayumi menginjak kakiku. Barulah aku sadar kalau si ketua OSIS ada di sana.

Habislah aku...

Dia pasti akan membenciku!




~To Be Continued~




Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

Jumat, 13 Februari 2009

Bloody Rose (part 3)

Waktu cepat berlalu. Malam-malam semakin cepat terlewati. Dan entah mengapa, Bloody Rose sedikit demi sedikit mulai jarang terdengar beritanya.



"Akhir2 ini, berita tentang Bloody Rose mulai jarang kedengaran, yah?" Tanya Yuna, membuka topik pembicaraan siang.

"Kamu masih mau ngelanjutin rencana gila-mu itu, Anna?" Tanya Erika seraya melahap kaarage-nya.

Anna yang masih menikmati roti melon, hanya berkata dengan singkat, "Tentu saja,"

Wajah Erika pucat pasi.

"Pesta-mu dipertaruhkan, Erika," Ujar Yuna datar.

* * *

Teluk Tokyo, 10.00 p.m

Malam semakin larut. Di tengah2 teluk, sebuah kapal pesiar mewah, membawa berpuluh-puluh pengunjung untuk menikmati pesat keluarga Himemiya, pesta yg diadakan oleh keluarga Erika.

"Bentar lagi..." Kata Yuuta di tengah2 pesta, "Bisa ketemu Bloody Rose~"

Yuna dan Erika menjitak Yuuta bersamaan. "Nyawa Anna taruhannya tau!" Bentak Erika. Anna tertawa, "Tenang saja. Dy pasti nggak akan membunuhku,"

Yuuta, Yuna dan Erika diam. Mereka menatap Anna bingung seraya bertanya-tanya dalam hati, "Yakin banget?!" Anna hanya tersenyum. Yah, hanya tersenyum.


12.00 p.m

Suasana pesta masih tampak damai. Belum ada tanda-tanda Bloody Rose akan datang. Erika dan Yuna menarik nafas lega. Namun sebaliknya, Anna dan Yuuta tampak cemas.

"Aku cari udara segar dulu," Kata Anna. Gadis itu kemudian menuju buritan kapal.

Anna menghela nafas berkali-kali. "Dy tidak datang," Keluhnya. Beberapa detik kemudian, dy mencium aroma yg pernah dy ketaui sebelumnya. "Mawar!" Anna segera menoleh dan berlari, menacari sang pemilik aroma mawar tersebut.

10 minute later,
Dy ada di atas kapal. Memandang dari bawah. Mengincar "mangsa" malam ini. Atas permintaan seseorang yg tidak dikenalnya, dy hrs membunuh pria itu. Dy tak tau siapa yg memintanya. Namun, dy tak peduli. Baginya, asal "membunuh" akan terbuka "jalan" untuk mencari apa yg dia inginkan.

"Sedang mencari seseorang, Mr. Bloody Rose?" Tiba-tiba, terdengar suara seorang gadis di belakangnya. Dy menoleh. Gadis itu, mengenakan gaun malam yg indah. Tidak terlalu berlebihan. Gadis itu tampak serius, "Apa harus aku memanggilmu Jun?"

Dy, Bloody Rose, terhenyak mendengar ucapan gadis itu. "Anna?!"

Sang gadis, Anna, cuma memandangnya dengan ekspresi serius, "Aku... selamanya nggak bisa kamu tipu!"

"Jangan-jangan, permintaan ini..."

"Ya, aku yg minta. Ada hal yg ingin kupastikan,"

Bloody Rose alias Jun, berjalan mendekati Anna. Kemudian memegang kedua bahu gadis itu, "Bodoh! Untung saja aku mengetahui tipuanmu dengan cepat. Kalau tidak, aq pasti sudah membunuh pria yg kau sebutkan di pesan itu!"

"Tidak ada, kok! Sebenarnya, tidak ada yg namanya seperti yg kutulis dipesan itu di pesta ini,"

"Anna!"

Anna memandang Jun dengan tatapan amarah, "Sejak dulu, kamu nggak bisa menipuku. Dan aku selalu percaya, tak ada yg bisa kau sembunyikan dariku, Jun,"

Jun diam. Namun, dia menatap Anna dengan tatapan yg dalam, "Bodoh,"

Anna melanjutkan kata2nya, "Lagian juga, kamu pake trade mark kok gampang bgt diketaui! Bunga mawar kan trade mark-q,"

Kali ini Jun bengong. Anna masih cerewet, "Sikapmu menebarkan kelopak mawar, juga khas bgt tau! Lagian, pake nama kok Bloody Rose. Mana kecewekan banget, mengotori nama baik bunga Mawar pula!"

Jun membekap mulut Anna dengan tangannya, "Anna, diam. Aq nggak bisa mengatakan apa-apa sama kamu. Soal bunga mawar, itu kan spontan. Dan emang hal itu terjadi gara2 kebiasaan itu. Dan soal masalah kamu nggak bisa kutipu, itu kuakui. Tapi..."

Anna menatap Jun dengan pandangan berkaca-kaca. Mengharapkan jawaban lebih darinya. Namun, Jun berkata, "Maaf, aku nggak bisa menjelaskan semua ini padamu,"

Cowok itu kemudian pergi. Entah dengan cara apa, namun dy menghilang bgitu saja di saat Anna masih dalam pikiran kosong, mencerna setiap kata-katanya.

Begitu tersedar, Anna mencari-cari sosoknya. "JUN! JUUUNN!!!!"

Namun, hingga akhir, Jun tak jugha ditemukan.

* * *

"Akhir2 ini, Anna murung, yah?" Tanya Yuna yang memandang Anna dari kejahuan. Anna berada melamun di pinggir jendela.

"Mungkin, karena tempo hari nggak ketemu sama Bloody Rose itu. Ato... bisa jugha, gara2 Jun pindah nggak bilang2," Tebak Yuuta.

Erika tak berkomentar. Dy jugha seperti yg lainnya, tak tau apa isi hati Anna. Namun, dy mengerti, hati gadis itu terluka dan terkoyak.

<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<

Anna berhenti ketika berada di jalan tepian sungai. Di menatap ke arah tepian sungai. Dy ingat, di sinilah dulu dy mulai berpikir perihal Bloody Rose. Kini, Bloody Rose tak lagi gempar di kota ini. Namun, Anna yakin, mungkin dy melakukan kegemparan di kota lain. Entah dengan nama yg sama atau tidak. Hujan kini telah berhenti. Bunga mawarnya sedikit demi sedikit mulai berguguran. Gadis itu kehilangan keseimbangan dan akan jatuh ke tepian sungai yg jalannya menurun tajam. Namun, seseorang menahannya. Dan Anna merasa, mengenal dirinya. Walau dy tak melihat sosoknya dengan jelas, namun, dy bisa merasakan sosoknya yg sangat dy kenal. Sosok yg berbeda bagi dirinya. Anna tersenyum lemah, "Sudah kuduga, kau pasti akan kembali..."


-- The End --



Friendster Layouts

Rabu, 11 Februari 2009

Bloody Rose (part 2)

"Kamu suka mawar?"

"Iya,"

"Sejak kapan?"

"I...itu.... Ah, mau tau ajah!"

"Aku memang mau tau, kok,"

"Cerewet! Nggak ada kaitannya denganmu! Yang pasti, bunga Mawar itu udah jadi trade mark-ku tau!"

"Trade Mark? Heh, yang namanya Bunga Mawar itu, identik ama cewek anggun. Kamu mah, mana ada anggun2nya?! Duduk aja masih seenak jidat,"

"BIARIIIIIINNN!!!!!"



* * *



"Anna!! Anna!!! ANNAAAA!!!!!!"

Seketika itu jugha, Anna membuka matanya. Pemandangan pertama yang dilihatnya, Wajah Erika, Yuuta dan Yuna yang cemas. Sepertinya, sudah berkali-kali mereka memanggil nama Anna. Selain itu, dy juga baru menyadari, kini berada di rumah sakit. Dan dari suasanya, dia berada di UGD.



"Lho, kalian? Ada apa? Di mana? Terus, kenapa kalian ada di sini? Kita mau ngapain, sich?" Seperti mengalami amnesia, Anna bertanya pada ketiga temannya secara beruntun. Erika, Yuuta dan Yuna saling pandang. Kali ini, pandangan mereka lebih cemas lagi, dan mereka malah bertanya balik pada Anna secara beruntun.



"Kamu nggak diapa-apain 'kan?"

"Jangan-jangan kamu kena bius??!!"

"Masih bisa inget kita2 'kan?"



Anna melongo.



"Sepertinya, dia pingsan cukup lama. Beri dy waktu sebentar untuk mengingat kejadian sebelum pingsan," Tiba-tiba, seorang dokter datang. 4 gadis itu memandang dokter yang kini tersenyum tipis, "Tenang saja, Sakashita Anna-san tidak apa2, kok. Hanya dibuat pingsan saja,"



Erika, Yuuta dan Yuna menarik nafas lega. Anna masih melongo, "Sebenarnya ada apa, sich? Jelasin, dong!" Ujar gadis itu bingung. Sekali lagi, Erika, Yuuta dan Yuna saling berpandangan. Kali ini pandangan ragu.



"Sebenarnya...."



Anna memandang ketiga sahabatnya dengan tidak sabar, "Apa?"



"Sebenarnya.... tadi.... Kamu pingsan di perumahan ituuuuch...." Jelas Erika tergagap.



"Yang itu yang mana? Jelasin yang jelas, dong!"



"Itu, tuuuh. Di perumahan yg katanya sering terjadi rumor pemerkosaan di sono. Terusss, ternyata, nggak jauh dari kamu, ada si pelaku ituch dan dy dah tewas. Katanya keracunan gitu, dech,"



"Abis itu, katanya, di sekitarnya ada kelopak bunga mawar, lho," Lanjut Yuuta. Kali ini, dengan nada lebih semangat, "Jadi, bisa disimpulkan, pelakunya di Bloody Rose itu!"



"Duileh, kalo udah ngomongin Bloody Rose, baru dech semangat," Sindir Yuna seraya menjitak Yuuta.



Anna tambah bengong, "Bloody... Rose?" Anna merasa sepertinya ada sesuatu antara dirinya dengan penjahat itu. Samar2, dy mulai mengingat sesuatu. Hanya kepingan ingatan kecil. Tatapan mata yang dalam dan seakan sanggup menghipnotisnya. "AH!!!" Tanpa sadar, Anna berteriak.

"Ada apa?" Tanya Yuna keheranan

Anna nyengir, "Ng... Nggak ada apa-apa, kok. Hehehehehe...." Namun, sebenarnya, dalam hati, dyberpikir keras, "Rasanya, aq tau mata itu. Nggak mungkin salah!"

* * *

Setelah pajamas party yg gagal tempo hari, kali ini, setelah Anna keluar dari RS, mereka mengadakan pajamas party di rumah Erika. Ketika Anna mengutarakan sesuatu pada Erika, Yuuta dan Yuna, 3 sobatnya tersebut kontan berteriak, "ANNNAAAA!!!! KAMU GILAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"

Anna menutup telinganya dengan kedua telapak tangannya, "Aku tau... aku tau... ini emang ide gila. Tapi 'kaaaan...."

"Anna!! Kalo kamu dibunuh gimana?!"

"Ato diterror!!! Aduh Anna.... Nggak usah nekat, dech!"

"Gila, keren! Coba aja!!!!"

Erika dan Yuna memandang si pemilik respon terakhir, Yuuta. Gadis itu meringis dengan wajah yang innocent, "Hehehehe..... Beda pendapat ga' apa-apa, 'kaaan???"

"YUUTAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"




To Be Continue...


Friendster Layouts

Minggu, 08 Februari 2009

Bloody Rose (part 1)

Hujan mengguyur kota Tokyo berjam-jam. Tak ada tanda-tanda akan berhenti. Anna yang baru membeli seikat bunga mawar, berhenti sesaat melihat betapa lebatnya hujan di luar sana. Namun, dia kembali berjalan. Membuka pintu toko dan meninggalkan toko bunga tersebut. Tanpa payung, tanpa jas hujan dan barang apapun untuk melindunginya dari hujan yang seakan menusuk-nusuk itu. Rindu... betapa rindunya dia dengan suasana ini. Jatuhnya kelopak-kelopak2 Sakura di bawah guyuran hujan, aroma mawar yang begitu kuat, memberikan sensani tersendiri baginya. Sensani yang membangkitkan kenangan....


>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>


2 years ago,



Hari ini, adalah hari pertama masuk sekolah. Bagi Anna, ini adalah hari istimewa. Ya, hari ini, adalah dimulainya hari-hari menjadi siswi SMU Murasaki Gakuen. Ditambah lagi, hari ini juga hari ulang tahunnya. Begitu senangnya dy karena mendapati hari istimewa doble, dy sampai tidak tidur semalaman. Dan sekarang, setelah siap-siap, dandan, bahkan sudah memakai seragam sekolah, di justru duduk bersandar kasur tempat tidurnya dan tertidur.



"Selamat Ulang Tahun, Anna!"



Anna merasa, mendengar sayup2 suara Jun. Suara ketika Jun masih kecil. Bayangannya kembali ketika mereka masih berusia 10 tahun. Jun memberikan dy seikat bunga mawar buatan dari kertas. Bunga buatan itu, adalah hasil kerja keras Jun semalam suntuk dengan bantuan Ibunya. Dan Anna masih menyimpannya di pojok meja riasnya dengan vas bercorak mawar pula. Entah mengapa, Anna rindu sekali dengan saat2 itu.



"Anna, mau sampai kapan kau tidur?" Tiba-tiba, terdengar suara Jun di belakang Anna. Seketika Anna terbangun. Kelopak bunga mawar berterbangan di sekitarnya. Gadis itu menoleh ke belakang. Ternyata, jendela kamarnya terbuka dan Jun duduk di atas kasurnya. "Ju,ju,ju,ju,ju, JUN!!!" Anna gelagapan dan wajahnya seketika memerah. Dy menunjuk Jun dengan ekspresi tak percaya dan kaget.


"Kenapa?" Tanya Jun dengan datar.

"Kenapa? Kamu bilang KENAPA?!"

"Bukannya tiap pagi memang begini?"

"Tapi.... Tapi...."


Belum Anna menyelesaikan kata2nya, Jun menunjukkan ke arah jam dinding. Anna terdiam. Kali ini, dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding, "KYAAAAA!!!!! JAM 8!!!!!" Dia menjerit panik. Disambar tas miliknya dah dy langsung lari ke menuju dapur untuk melahap roti yg baru dipanggang Oka-san.

Sedangkan Jun, dengan cueknya, loncat dari kamar Anna yg ada di lantai dua ke bawah dan berdiri di depan pintu, menunggu Anna membuka pintu dengan panik dan mengejar gadis itu. Kebiasaan tiap pagi yang tidak pernah berubah. Yah, tiap pagi. Jun datang seraya membawa kelopak bunga mawar untuk diterbangkan ke kamar Anna. Sedangkan si pemilik kamar teriak kaget, lalu bersiap-siap dengan panik. Sedangkan Jun sebagai "jam weker", loncat ke bawah dan menunggu manis gadis itu keluar dengan tampang panik.

* * *

"Sepertinya, masa SMU-pun, kamu tetap akan dibayangi oleh Jun, yah," Kata Erika, teman Anna sejak kecil seraya menunjuk Jun yang duduk dengan santai di dekat jendela. Anna menghela nafas panjang, "Hhh... masa2 SMU-ku pun kembali kelam, dech. Masa' sampai di SMU-pun, aq harus bersama Jun, sich!" Omelnya kesal. Erika tertawa kecil, "Keep smile, Anna. Jangan marah2 mulu, dong. Kamu musti gembira. Hari ini kan kamu ulang tahun! Masa' ultah cemberut, sich,"

Erika berusaha untuk mencairkan suasana, mengingat dy-lah "pelaku" yg mengingatkan Anna bahwa Jun-pun tahun ini satu sekolah dengannya dan satu kelas (laghi). Tapi, Anna tetap cemberut.

Anna melirik ke arah Jun, "Tapiii... aku heran dengannya,"

"Heran kenapa?"

"Dy kan malesnya setengah mati. Tapi, kalo soal bangun pagi, kok rajin, yah?"

"Hmm... bener jugha. Tapi, kalo hari Minggu, males jugha kan? Bangunnya molor gitu,"

"Itulah yg bikin aq heran. Padahal, kalo di sekolah, kerjaannya tidur mulu,"

Erika hanya memberi isyarat, "Entahlah"

* * *

Hari semakin senja. Anna berjalan sendiri menyusuri tepian sungai saat perjalana pulang. "Cih, kalo begini, baru dy ngga ikut," Umpatnya. Namun, hal itu, tidak merusak moodnya untuk menikmati angin sore yang sejuk. Tiba-tiba, di melihat kelopak bunga2 mawar berterbangan di balik kelopak bunga sakura yang berjatuhan. "Eh?" Masih kaget, kemudian, dia merasa ada sekelbat bayangan di belakangnya. Spontan Anna menghadap ke belakang. Tak ada siapapun. Tapi, Anna yakin, itu bukan imajinasinya. Apalagi, sebagian kelopak mawar itu, jatuh di sekitarnya.

"Eh, katanya, pembunuh bayaran misterius itu kemarin berhasil membunuh lagi, lho,"

"Wah, hebat! Siapa yang berhasil dy bunuh?"

"Itu tuch, pengusaha Tachibana Group,"

"Kakkoi!!!"

Anna tersentak mendengar percakapan 2 siswi SMP yang baru saja lewat. "Pembunuh itu laghi?"

Pembunuh yang dimaksud itu, adalah pembunuh bayaran yang sedang gencar2nya dibicarakan di kota. "Bloody Rose" pembunuh bayaran misterius yang selalu berhasil mengincar "mangsa"nya. Menurut pihak kepolisian dan saksi2, di sekitar korban, selalu terdapat kelopak mawar. Pembunuhan selalu rapih tanpa bisa ditembus oleh kepolisian untuk mengetahui siapa pelakunya. Itulah mengapa, oleh masyarakat, ia dijuluki "Bloody Rose".

Yang membuat Anna tersentak, kelopak bunga, adalah trade mark Jun bila datang ke kamarnya. Kalau mulai membicarakan itu, biasanya, Anna akan berkata, "Aku selalu dikelilingi kelopak mawar, buktinya masih sekarang masih idup, tuch,"

Entah kenapa, kali ini, Anna mulai curiga, "Ah, nggak mungkin. Kelewat kebetulan,"

***

Midnight,

"Waduuuuhhh..... bisa2nya Yuna kelupaan beli camilan bwt pajamas party. Toko 24 jam kan jauh dari sini!" Keluh Anna seraya berlari menyusuri jalanan. Namun, dy masih melewati perumahan yang sepi, belum memasuki tengah kota. Suasana di sekitar tampak sepi. Sebenarnya, dy sering mendengar bahwa ada kasus pemerkosaan di sekitar perumahan tersebut. Tapi, karena lebih fokus ke belanjanya dan juga saat ini sudah tengah malam, dy memilih untuk potong jalan lewat perumahan sepi itu.

Tiba-tiba, terdengar suara derap langkah kaki. Lebih tepatnya, di area pertigaan. Ketika Anna ada di sana, dy menabrak seorang pria paruh baya yang mukanya keliatan banget kalo dy om2 mesum.

"Ma...Maa..." Belum selesai Anna bicara, mendadak, dy disandera oleh om2 itu. Tangan kiri om2 itu memegang erat kedua pergelangan tangan Anna. Sedangkan tangan kanannya, memegang sebilah pisau, "Diam!" Ujar2 om2 itu.

Anna bengong bercampur kaget, "Pe...pemerkosaan!!! Haduuuhhh!! Aq nggak mau jadi korbannya!!!" Jerit gadis itu dalam hati.

Di sekitar Anna, di antara kelopak2 bunga Sakura, muncul kelopak bunga mawar yang berterbangan. "Bloody... Rose??!!" Anna kini diam. Terdengar langkah2 kaki yang begitu halus. Perlahan, terlihat bayangan. Bayangan seorang pria dengan kostum ninja lengkap.

"Jangan mendekat, atau gadis ini akan mati!" Teriak om2 itu. Terdengar suara pisau yang bersinggungan dengan sesuatu. Pisau itu jatuh. Dan secara tepat, sebuah jarum melewati Anna dan menusuk tepat di dada om2 tadi. Om2 itu ambruk.

Belum sadar dengan situasi yang terjadi, Anna malah dibawa naik ke atas salah satu atap rumah. Di atap rumah, dalam posisi masih digendong, Anna menebak, "Kamuuuu...."

Jari telunjuk Bloody Rose menempel di bibir Anna, "Sssttt...."

Anna diam membisu. Dy hanya memandang mata pria itu. Tatapan itu... begitu familiar baginya. Namun, entah mengapa tampak lebih dalam. Sangat dalam, hingga seakan merasuk dalam hati. Dan tanpa disadari, suasana di sekitar perlahan berubah menjadi gelap.

Anna pingsan.



Friendster Layouts